SELAMAT DATANG DI BLOG ISLAMUNA!

Cari Artikel

MOHON UNTUK KIRIMAN ARTIKEL ADALAH KARYA TULIS SENDIRI YANG BELUM DIPOSTING ATAU DIPUBLIKASIKAN DI WEB/BLOG MANAPUN..

Please, Translate In Your Language..

Rabu, 19 Oktober 2011

Religiusitas Yang Terlupakan

Oleh: M. Khotib At-tamamy*

Religiusitas adalah segala sesuatu yang serat dengan agama, hubungan hamba dengan tuhannya yang selalu mengingatnya dimanapun ia berada. Hampir di semua kamus menjelaskan yang disebut religiusitas memiliki hubungan erat dengan religi. Dalam kamus ilmiah populer kata religiusitas dimaknai sebagai ketaatan beragama. Makna yang selama ini diketahui masih dicerna secara mentah-mentah tanpa adanya filter-filter intisari makna sesungguhnya. Pemahaman inilah yang harus di dekonstruksi sehingga tidak terjadi penyempitan makna.


Sebagian orang mendefinisikan bahwa religius serat dengan nuansa keagamaan, baik ritual maupun aplikasi. Religiusitas sebenarnya tidak mengenal ruang dan waktu. Namun bagi kaum agamis ortodok lebih memadatkan makna ini sebagai hubungan antara makhluk dan tuhan, hamba dan khaliq. Kondisi ini lebih cenderung dengan keadaan yang tanpa sadar individu lebih dekat mengenal tuhannya, berdialog, komunikasi dan melakukan hubungan tanpa adanya sekat yang memisah.


Masih banyak yang terjebak dalam definisi teologi bahwa yang disebut religi itu hanya sebatas ritual yang serat hubungannya dengan tuhan. Definisi ini dapat diambil contoh dari aktifitas komunitas pesantren (dalam Islam). Keseharian mereka seolah-olah sangat serat dengan religius, padahal apakah sesungguhnya religius seperti pemahaman sebagian orang. Apakah kondisi seperti itu hanya bisa tumbuh dan hidup di kalangan pesantren atau tempat-tempat suci semata. Mereka lupa dengan kondisi lingkungan dan orang-orang sekitar mereka. 
 Jika religius dimaknai seperti diatas mungkin kota-kota besar tidak memiliki rasa religiusitas. Tanpa disadari ada makna yang hilang, ada rahasia yang belum terungkap. Sebenarnya dibalik kemegahan kota-kota besar yang berkilau, pertokoan, mall dan pusat belanjaan, jalan raya yang selalu ramai dan kepadatan pemukiman inilah yang dapat menumbuhkan rasa religiusitas. Disaat mereka belanja menghabiskan pundi-pundi nominal dari puluhan hingga ratusan ribu di depan pertokoan megah, pada saat itu pula banyak pengemis dan gelandangan yang selalu menadahkan kedua telapak tangan. Di depan pusat perbelanjaan, masjid, bahkan ditengah terik matahari saat traffic light dari hijau berganti merah, berapa banyak yang membutuhkan rasa peduli. Dengan ringan kita mengatakan ‘maaf’ atau dengan simbol mengangkat tangan. Lantas dimana rasa religius ketika kondisi ini masih berlangsung hingga kini.

Kebisingan lalu lintas yang tidak pernah berhenti, padatnya aktifitas yang membuat semuanya terlupakan juga mengaburkan makna religiusitas itu sendiri. Inilah yang sebenarnya hakikat religiusitas itu sendiri. Jika kembali pada literasi makna religi itu sendiri, sebenarnya yang dimaksud adalah sejauh mana individu mengamalkan ajaran agama dan peduli terhadap orang lain. Bukankah setiap agama mengajarkan hal demikian?

Asghar ali Engineer, dalam teologi pembebasan mengatakan bahwa seharusnya agama harus mampu memberdayakan umatnya dan menjauhkan dari kemiskinan. Namun pada kenyataannya, masih banyak para pemeluk agama yang menilai dirinya sendiri sangat religius baik ritual maupun material tetapi masih banyak ketimpangan sosial yang masih berkeliaran di lingkungan sekitar mereka tinggal. Ketika pemeluk suatu agama tertinggal secara ekonomi dengan yang lainnya, lalu siapakah yang mesti disalahkan. Agama atau pemeluknya?

Dari analisis ini dapat dikatakan bahwa religiusitas itu sendiri adalah sejauh mana individu mampu berinteraksi dengan sosial masyarakat sesuai dengan ajaran agama. Agama mengajarkan rasa peduli dan perhatian terhadap sesama, membantu yang membutuhkan dan segala bentuk kebaikan lainnya.

Religiusitas merupakan tigkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan terhadap alam gaib. Dalam hal ini religiusitas lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati dan tidak dapat dipaksakan. Religiusitas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agama. Religiusitas dapat diketahui melalui beberapa aspek penting yaitu: aspek keyakinan terhadap ajaran agama (aqidah), aspek ketaatan terhadap ajaran agama (syari’ah atau ibadah), aspek penghayatan terhadap ajaran agama (ikhsan), aspek pengetahuan terhadap ajaran agama (ilmu) dan aspek pelaksanaan ajaran agama (amal atau ahlak).

Religiusitas bukan hanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama saja namun juga perlu adanya pengamalan nilai-nilai tersebut. Kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar ia dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap seberapa jauh ia telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam rangka memberi makna dan arti dalam hidupnya. Artinya semakin tinggi religiusitas individu maka semakin tinggi pula kebermaknaan hidupnya.

Religiusitas adalah tindakan agamawiah. Dalam kekristenan yang dapat digolongkan tindakan Agamawiah (religiusitas) adalah Berdoa, berpuasa, memberikan persepuluhan, pelayanan, dan lain-lain. Namun sering kali religiusitas ini menjadi suatu religiusitas yang semu, yakni suatu religiusitas yang secara fenomena kelihatan benar namun sesungguhnya di hadapan Tuhan, semua itu palsu. Hanya Tuhan yang tahu apakah religiusitas yang kita lakukan tersebut sejati atau semu. Orang lain tidak dapat menilai bahkan diri sendiripun terkadang tidak menyadarinya. Terkadang kita merasa tertipu dengan suatu fenomena yang nampak baik di depan orang banyak tetapi sesungguhnya di hadapan Tuhan tidaklah berarti apa-apa. Religiusitas semu merupakan tindakan agamawiah hanya sebagai alat mencapai status terhormat. Sering Kali banyak orang melakukan tindakan agamawi, hanya untuk mengejar suatu kedudukan dalam masyarakat. Religiusitas agamawiah ini hanya merupakan suatu kebiasaan buruk. Tindakan agamawiah yang pada dasarnya baik, menjadi suatu kebiasaan buruk, jikalau dalam menjalaninya hanya untuk menunjukkan diri kita lebih baik dari orang lain. Selain itu aktifitas ini hanya merupakan suatu ritual belaka, formalitas-formalitas ibadah, aturan-aturan hitam di atas putih yang menyangkut kehidupan beragama dalam tindakan melakukan agamawiah sebagai cara untuk membenarkan diri dan bukan membawa diri semakin mengenal sang pencipta dan kekudusan-Nya.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan diri kita, sampai seberapa jauhkah religiusitas yang sudah kita lakukan. seperti shalat, puasa, berdoa dan pelayanan yang membuat kita semakin dekat dengan Tuhan atau justru menjauh dari Tuhan? Kapan kesadaran tentang keberadaan diri ini akan tercapai. Sesungguhnya bahwa diri kita adalah manusia berdosa di hadapan Tuhan. Tidak peduli berapa lama hidup ini tetapi yang perlu pedulikan adalah berapa dan bagaimana makna hidup ini.

*) Penulis adalah Alumni MMA ’06, sekaligus pemerhati sosial dan kini tinggal di Tangsel

ILMU BAHASA ARAB | Belajar Bahasa Arab Online, Ngaji Nahwu Shorf, Tata Bahasa Arab, Arab Fushkha

TEKNIK SEO MUDAH DAN GRATIS | Optimasi Seo, Seo Tools, Optimasi Blog, Seo Terbaik, Seo Gratis

Tambak Blog

KOREAN LEARNING - JOB SEEKER | TKI Korea, Belajar Bahasa Korea, Tes EPS TOPIK, Budaya Korea

Total Tayangan Halaman